KESUCIAN IMAM DI SAAT KORONA (Mendalami Gaudete et Exsultate)

/ April 8, 2020

KESUCIAN IMAM DI SAAT KORONA
Mendalami Gaudete et Exsultate

T Krispurwana Cahyadi, SJ

Antonio Spadaro, dari La Civiltà Cattolica pernah menuliskan percakapan Paus Fransiskus dengan beberapa kalangan, “Katanya Paus akan memperbaharui Gereja?”, tanya mereka. Paus segera menjawab, “Tidak!”. “Bukankah saat pertemuan para kardinal sebelum konklaf, dikatakan bahwa Gereja perlu melakukan pembenahan dan pembaharuan di banyak hal, apalagi bukankah salah satu alasan pengunduran diri Paus Benediktus XVI karena melihat situasi perubahan dunia dan itu menuntut Gereja yang berubah pula?” Atas gugatan itu Fransiskus hanya menjawab, “Tugas saya bukan untuk memperbaharui Gereja!”. Para penanya menjadi penasaran, “Lalu kalau begitu apa yang akan Paus lakukan?”. Dia kemudian menjawab, “Tugas saya adalah menempatkan Kristus di pusat, supaya Kristus sendiri, dan bukan saya, yang memperbaharui Gereja!”.
Beberapa pengamat menuliskan bahwa Paus Fransiskus menggembalakan Gereja seperti seorang pendamping retret, menemani Gereja menjalani Latihan Rohani. Maka kepemimpinan spiritual yang menjadi kekhasannya. Tidak mengherankanlah kalau dia berulangkali memberi tekanan untuk kembali kepada yang paling mendasar: doa dan Kitab Suci. Membangun senantiasa dan memperbaharui relasi personal dengan Kristus, seakan menjadi kata kunci, sehingga primat pengalaman pribadi akan Allah menjadi ajakannya yang berulang kali diungkapkan. Melihat itu semua, tidak sedikit kemudian yang mengantisipasi akan munculnya suatu ensiklik atau surat apostolik tentang kesucian. Maka banyak kalangan tidak heran kalau pada tanggal 19 Maret 2018, di Hari Raya Santo Yoseph, Paus mengeluarkan seruan apostolik Gaudete et Exsultate, yang berbicara tentang panggilan akan kesucian.
Tentu Gaudete et Exsultate (selanjutnya disingkat GE) tidak berbicara tentang imamat, sebab surat itu lebih berbicara tentang panggilan kesucian semua umat beriman. Panggilan tersebut melekat pada diri semua, berkat rahmat baptisan yang kita terima, di mana Roh Kudus yang tercurah mendorong semua, juga para imam, menapaki jalan kekudusan. Selain itu, karena imam, dengan martabat imamat jabatannya, dipanggil untuk melayani umat agar imamat umum umat beriman semakin hidup dan tumbuh, juga dalam hal kesucian, maka panggilan akan kesucian kepada para imam semakin menemukan arti. Bagaimana mungkin para imam mengingatkan umat untuk tanpa henti dan penuh daya menapaki jalan kesucian, kalau dirinya sendiri tidak menapaki jalan itu. Lebih lanjut lagi, Paus menyebutkan bahwa kesucian adalah wajah Gereja yang paling menarik. Tentu para imam yang seringkali ditempatkan sebagai representasi kehadiran dan wajah Gereja, setidaknya dari sisi Gereja institusional, perlu menghadirkan sisi menarik atau daya pikat Gereja tentang kekudusannya. Oleh karena itu bisa dikatakan kekudusan adalah panggilan untuk semua, terlebih para imam.

Imam pelayan kesucian Gereja

Paus Fransiskus dalam homili perayaan Ekaristi, Sabtu 28 Maret 2020, menggambarkan adanya sikap seperti yang dimiliki oleh orang Farisi (lih Yoh 7:40-53), yang menutup diri, lalu mengutuk orang-orang yang percaya kepada Yesus, dengan mengatakan mereka tidak mengenal Kitab Suci. Dikatakannya inilah salah satu bentuk klerikalisme, agamawan elite. Diteruskannya gambaran itu ke dalam realitas saat ini, kaum imam dan religius elite, yang karena takut akan korona, sebagai misal, lalu merasa benar dengan tidak melayani, terlebih mereka yang paling menderita dengan wabah ini, kaum miskin. Mereka ini, seperti halnya juga orang-orang Farisi, lupa bahwa mereka adalah bagian dari umat Allah, tidak terpisahkan dari umat manusia. Imam tidak di atas, melebihi, sesamanya, kaum awam.
Rahmat tahbisan imam yang kita terima tidak bisa dilepaskan dari rahmat baptisan yang diterima oleh umat beriman. Yang mendasari imamat khusus kita adalah imamat umum umat beriman. Oleh karena itu, imamat tahbisan baru mempunyai arti kalau kita menumbuhkan dan menghidupkan imamat umum umat beriman, rahmat baptisan yang diterima. Imamat jabatan ada bagi imamat umum umat. Imam, bila demikian, ada dan dimaksudkan bagi komunitas umat beriman, bagi Gereja umat Allah dan tubuh Kristus ini. Bukan komunitas Gereja yang melayani imam, namun imam yang melayani umat dan Gereja. Imam bagaimana pun adalah bagian dari Gereja, dan di hadapan Kristus entah imam ataupun awam sama dan sejajar. Dengan memahami hal ini para imam diajak untuk melihat bahwa dirinya adalah pelayan. Kalau kita tempatkan dalam dokumen dari komisi teologi internasional, Sensus Fidei (2014) kita diajak untuk menghidupkan dan menumbuhkan sensus fidei, rasa atau kepekaan iman, dalam diri umat beriman dan tubuh Gereja, agar kita semua dapat semakin terbuka serta peka akan terang bimbingan Roh Kudus.
Memang ada 2 karunia dianugerahkan Allah: kuasa (hierarkis) dan kharisma. Keduanya dalam pengertiannya yang luas dianugerahkan kepada semua umat beriman, berkat baptisan, dalam kekhasan panggilannya masing-masing. Demikian dikatakan oleh Kongregasi Ajaran iman dalam Iuvenescit Ecclesia (2016). Karunia kuasa di tengah ciri hierarkis Gereja, yang diterima oleh para imam, melengkapi karunia karismatis. Keduanya menjadi bagian dari tugas perutusan Gereja, terlebih primat panggilan kesucian dan pewujudan kasih. Dengan mengatakan demikian Kongregasi Ajaran iman hendak menyatakan bahwa karunia Allah dianugerahkan kepada kita demi pewujudan panggilan kesucian kepada kita semua. Demikian pula, imamat diarahkan terutama pada kesucian, sehingga karunia kuasa-hierarkis yang dimaksudkan pertama-tama agar membantu menumbuhkan dan menghidupi kesucian.
Di sini kita diajak melihat bahwa imam, sebagai pelayan Gereja, betapapun memiliki karunia kuasa, berkat rahmat tahbisan yang diterimanya, menghidupi pula karunia kharisma, karenanya dipanggil untuk menghidupkan karunia kharisma berkat baptisan umat beriman. Kalau kita menyimak dokumen dari Komisi teologi internasional yang terakhir Faith and Sacrament (2019) mengajak kita untuk berangkat dari pengamatan adanya krisis dalam kaitan iman dan sakramen, akibat dari praksis pastoral yang kurang tepat atau juga pengaruh perkembangan yang ada, kita diajak ikut membawa masuk ke dalam tataran yang lebih dalam, primat iman (tidak hanya secara doktriner, pewartaan dan pastoral, namun pula spiritual) sebagai pondasi hidup menggereja kita. Di bagian akhir dokumen tersebut dituliskan, karena tata keselamatan Ilahi yang trinitarian merupakan hakekat dasar sakramental, demikian pula hidup iman Kristiani adalah pula sepenuhnya sakramental. Ditekankan di dalamnya, praksis dan kesaksian iman yang dihidupi. Tentu sudah selayaknya hal ini menjadi perhatian kita, para imam.
Paus Fransiskus menghendaki Gereja dewasa ini berjalan dalam ciri sinodal, Gereja yang berjalan bersama. Sinodalitas bahkan akan dijadikan sebagai tema sinode uskup 2021. Gereja yang sinodal adalah Gereja yang mau saling mendengarkan dan bersama-sama mendengarkan terang bimbingan Roh Kudus. Olehnya dikatakan pula bahwa karakter sinodal yang mendengarkan dan berjalan bersama ini menjadi kerangka hidup dan kerja pelayanan hierarkis Gereja (modus vivendi et operandi). Dua tiang penyangganya adalah sensus fidei umat beriman dan kolegialitas rasuli. Letak pelayanan imam di sini adalah sebagai pembantu para Uskup dan pelayan sensus fidei umat beriman. Arah dari karakteristik sinodal Gereja ini adalah pewujudan semangat misioner Gereja, sebagaimana menjadi perutusan Kristus kepada Gereja-Nya (lih Mat 28:18-20).
Kiranya simbolisasi kuat dari Gereja yang berjalan bersama ini tampak dari dua peristiwa: Paus Fransiskus yang berjalan menyusuri tapak ziarah ke basilika Santa Maria Maggiore dan Gereja San Marcello del Corso (22 Maret 2020) dan Paus yang melangkah sendiri membelah lapangan Santo Petrus menuju ke depan basilika saat doa Urbi et Orbi (27 Maret 2020). Fransiskus menyimbolkan Gereja yang berjalan bersama, dan perjalanan bersama itu adalah perjalanan menuju Tuhan, dan itulah perjalanan bersama yang utama dan pertama: berjalan menuju pada kesucian, berjalan dalam jalan Tuhan menuju kepada-Nya.

Kesucian: wajah kita – wajah Gereja Semua orang dipanggil kepada kesucian.

Allah menghendaki kita semua menjadi orang suci, dan tidak tinggal diam dalam sikap tawar hati dan suam-suam kuku. Panggilan akan kesucian diperlihatkan dalam berbagai cara sejak dari halaman-halaman pertama Kitab Suci. Kita melihatnya dalam ungkapan akan sabda Tuhan kepada Abraham, “Hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela” (Kej 17:1). Demikian dikatakan oleh Paus Fransiskus dalam pengantar awal anjuran apostoliknya Gaudete et Exsultate, tentang panggilan akan kesucian, sebab memang Tuhan telah memilih setiap orang “supaya kita kudus dan tak bercacat dalam kasih di hadapan-Nya” (Ef 1:4). Paus Fransiskus lebih lanjut menegaskan bahwa kesucian tersebut sekaligus merupakan panggilan akan kesaksian dan cara hidup Gereja. Umat Kristiani diutus untuk memberikan kesaksian akan kesucian, sebab kekudusan tersebut merupakan panggilan sebagai cara hidup yang hendaknya ditapaki oleh semua umat beriman. Itulah perutusan kita semua. Dikatakan Paus bahwa seorang Kristiani tidak dapat menjalankan perutusannya di dunia ini tanpa melihatnya sebagai jalan kesucian, sebab “inilah kehendak Allah: pengudusanmu” (1 Tes 4:3). Setiap orang suci berada dalam perutusan, yang direncanakan Allah untuk mencerminkan dan mewujudkan, di tengah setiap peristiwa tertentu dalam sejarah, unsur tertentu dari Injil. Lanjutnya, “Hal ini merupakan suatu panggilan yang bergema kuat yang ditujukan kepada kita semua. Kamu hanya perlu melihat keseluruhan hidupmu sebagai perutusan. Cobalah itu dengan mendengarkan Allah dalam doa dan mengenali tanda-tanda yang diberikan-Nya kepadamu. Selalu bertanyalah pada Roh Kudus apa yang Yesus harapkan darimu dari setiap peristiwa dalam hidupmu dan dalam setiap keputusan yang harus kamu buat, demikian pula dengan menimbang-nimbang tempat perutusan yang kamu terima. Biarkanlah Roh Kudus menanamkan dalam dirimu misteri personal yang dapat mencerminkan Yesus Kristus di tengah dunia dewasa ini”. Namun diingatkan bahwa kesucian tidak berbicara tentang kesempurnaan. Dituliskan oleh Paus Fransiskus bahwa orang-orang kudus bukanlah orang-orang yang sempurna, tetapi mereka adalah orang-orang yang bergumul dalam hidupnya, yang senantiasa terus-meneruskan mengarahkan diri kepada Allah. Dikatakannya bahwa kehidupan mereka memang tidak selalu sempurna, walaupun demikian betapapun di tengah kerapuhan dan kegagalan mereka, mereka tetap berjalan terus dan berusaha melakukan sesuatu yang berkenan kepada Allah. Panggilan kekudusan memang adalah panggilan untuk mengarahkan hidup kepada Allah, dengan menetapkan Allah sebagai pusat dan acuan, keluar dari diri sendiri, mencoba untuk memeluk hidup Allah. “Haruslah kamu kudus, sebab Aku ini kudus” (Im 11:44; lih 1 Ptr 1:16). Itulah panggilan dasar semua umat beriman. Semua ini hendaknya meneguhkan dan mendorong kita untuk memberikan diri sepenuhnya dan menapaki rencana unik yang Allah maksudkan kepada kita masing-masing dari keabadian, “Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu Aku telah mengenalmu; sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskanmu” (Yer 1:5). Kita semua dipanggil untuk menjadi suci dengan menjalani kehidupan kita dengan kasih dan dengan menyatakan kesaksian dalam segala apa yang kita lakukan, entah di manapun kita berada. Jalan kesucian tersebut menurut Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate merupakan suatu undangan yang tumbuh lewat tanda-tanda sikap sederhana: tidak terpancing untuk bergosip, sikap mau mendengarkan betapapun lelah, peduli dan mau menjumpai mereka yang miskin atau menghibur mereka yang sedang sedih, serta bertekun dalam doa-doa sederhana di saat-saat cemas, gelisah dan menghadapi persoalan. Dalam segala tindakan dan bentuk hidup, kita bisa menemukan wujud-wujud langkah dan jalan menuju pada kesucian. Masing-masing memiliki jalan kekudusannya sendiri-sendiri. Kita bisa belajar dari para kudus. Akan tetapi diingatkannya agar kita janganlah kehilangan semangat saat berhadapan dengan contoh-contoh kesucian yang tampak tak terjangkau. Ada banyak kesaksian yang bisa sangat membantu dan menginspirasi, akan tetapi semua itu tidak dimaksudkan untuk ditiru, sebab hal itu bisa malahan menjadikan kita tersesat dari tapak jalan tertentu yang dimaksudkan Tuhan kepada kita. Yang penting adalah masing-masing umat beriman menegaskan tapak jalan kesuciannya sendiri, yang menuntunnya pada apa yang terbaik baginya, karunia paling personal yang Allah karuniakan di dalam hatinya (lih 1 Kor 12:7), daripada berusaha keras tanpa harapan untuk mencoba meniru sesuatu yang tidak dimaksudkan kepadanya. Kita semua dipanggil sebagai saksi, akan tetapi ada banyak jalan untuk menyatakan kesaksian. Kita mempunyai banyak contoh yang bisa ditiru, termasuk kaum religius tua yang menjalani hidupnya dengan senyum yang tak lepas. Kesucian itu bagi Paus adalah pesan. Dikatakannya, setiap orang suci merupakan pesan yang Roh Kudus timba dari kekayaan Yesus Kristus dan dianugerahkan-Nya kepada umat-Nya. Agar pesan tersebut sampai, maka perlu kita memperbaharui diri terus-menerus, membiarkan diri diubah dan diperbaharui oleh Roh, membuka diri akan rahmat adikodrati-Nya, yang memurnikan dan menerangi. Untuk itu diingatkan agar kita senantiasa mau menyediakan waktu untuk hening, kesunyian dan diam di hadapan Allah. Namun berkebalikan dari itu semua. Keheningan ini sekarang menghadapi tantangan, terlebih tantangan akan kesadaran keliru akan kebebasan, yang menjadikan kita terjebak dalam rasa lekat akan sarana, yang seakan menjamin kita dengan hiburan dan rasa senang sementara belaka. Kehadiran secara terus-menerus gawai baru, gairah akan perjalanan dan pajangan tanpa batas akan barang-barang konsumsi suatu saat bisa tidak menyediakan ruang untuk mendengarkan suara Allah. Kita dibanjiri oleh kata-kata, kenikmatan serba kasat mata dan dengan maraknya kehiruk-pikukan, dipenuhi bukan oleh sukacita namun lebih oleh ketidakpuasan oleh mereka yang hidupnya pudar makna. Dampaknya, kita menjadi tidak menyukai perutusan kita, atau komitmen kita menjadi kendor, dan semangat kemurahan hati serta kesiapsediaan kita untuk melayani mulai pudar. Hal ini menyuramkan pengalaman rohani kita. Dapatkan gairah rohani berkobar saat hidup di tengah-tengah rasa malas akan pewartaan Injil dan akan pelayanan kepada sesama, demikian kata Fransiskus.
Dari sini Paus dalam Gaudete et Exsultate lalu berbicara tentang gejala hedonisme dan konsumerisme, obsesi akan kesenangan diri yang berujung menjadi terlalu peduli akan diri sendiri dan hak-hak diri, dan kita menjadi putus asa lalu merasa memerlukan waktu bebas untuk menikmati diri sendiri. Kita, karenanya, akan kesulitan untuk merasakan dan menunjukkan kepedulian nyata kepada mereka yang membutuhkan, jika kita tidak mampu mengolah bentuk kehidupan sederhana tertentu, melawan tuntutan gencar masyarakat konsumsi, yang akan menjadikan kita miskin dan tak puas, gelisah untuk bisa segera mendapatkannya. Sama halnya, kalau kita membiarkan diri dipenjara oleh arus informasi dangkal, komunikasi instan dan realitas virtual, kita akan menghambur-hamburkan waktu dan menjadi tidak peduli akan penderitaan nyata saudara-saudari kita. Namun di tengah terpaan badai aktivitas, Injil terus bergema, memberikan kita janji akan kehidupan yang berbeda, hidup yang lebih sehat dan bahagia.
Memang orang sering salah menapaki jalan kesucian. Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate memperlihatkan dua kesesatan yang biasa dan mudah terjadi: gnotisme dan pelagianisme. Keduanya memang bentuk kesesatan lama, dari awal sejarah Kristianitas, namun kini menurutnya muncul lagi secara subur, bahkan diistilahkan menjadi wabah. Keduanya dikatakan Paus berciri elitis narsistik dan otoritarian, di mana pintu rahmat tidak diakui, sehingga tidak tumbuh di dalamnya kepedulian akan Kristus serta sesama.
Gnotisme dikatakan menempatkan iman hanya secara subjektif, di mana orang memenjarakan diri dalam pikiran dan perasaannya sendiri, seakan pengetahuan dan rangkaian informasi belaka yang menerangi. Tidak ada kasih kepada sesama di sini, sebab sesama dihargai hanya sejauh mereka memiliki pengetahuan dan pemahaman akan kompleksitas ajaran tertentu. Sesuatu yang sederhana dan terbatas tidak dipandang, demikian pula kenyataan keberagaman. Mereka memutlakkan pemahaman mereka dan menanggap absolut keyakinannya. Hidup lalu adalah suatu abstraksi, namun superfisial. Maka Paus menyebut, mereka ini adalah orang-orang yang menyangkal adanya misteri, tidak sanggup menyentuh penderitaan, hidup tidak riil atau dikatakan tidak berdaging. Misteri dan realitas sekedar sesuatu yang ada dalam pemahaman belaka, dan seakan pengertian mereka menjadi jawaban atas segalanya. Allah pun hendak dipastikannya, sehingga kemahakuasaan Allah seakan hendak dikuasai dan dikontrolnya. Akibatnya, tiada keterbukaan, tak ada kerendahan hati, tiada pengakuan akan batas akal budi.
Dikhawatirkan terjadi di dalam tubuh Gereja ini, adanya kelompok yang merasa lebih tahu daripada yang lain, sehingga merasa lebih baik dan lebih suci daripada yang lain, terlebih yang dipandang “tidak tahu”. Mereka ini adalah orang-orang yang sudah mandeg, tidak bertanya lagi, tertutup. Oleh karena itu, tidak ada belaskasih di sini, sehingga kemurahan hati dan devosi, demikian pula kebijaksanaan tidak tumbuh.
Bahaya kesesatan kedua yang dikatakan Fransiskus adalah pelagianisme. Pelagianisme terlalu mengagungkan kehendak manusia, daya upaya personal, lebih percaya pada kekuatan sendiri dan merasa lebih sekedar karena mematuhi aturan tertentu. Betapapun mudah berbicara tentang rahmat, namun di sini muncul kecenderungan untuk lebih bergantung pada kehendak manusia. Akibatnya, ketergantungan akan Allah, terlebih pada kemurahan hati-Nya tidak tumbuh, kerendahan hati pudar, kejujuran hilang serta kesadaran akan keterbatasan diri terhambat. Rahmat, dengan demikian, sebenarnya ditolak, sehingga tidak disadari bahwa kita dibenarkan bukan oleh perbuatan kita, melainkan oleh rahmat Allah. Kehendak dan kemampuan diri dipuja, sehingga sikap keberpusatan pada diri dan kepuasan diri yang elitis yang lebih dihidupi. Gejalanya disebut oleh Paus: obsesi akan hukum, terserap mencari manfaat sosial-politik, perhatian terlalu rinci akan liturgi, doktrin dan kehormatan Gereja, angkuh dalam kemampuan mengelola perkara-perkara praktis, perhatian berlebihan akan berbagai program atau sarana perkembangan diri dan pemenuhan pribadi, serta mudah berfokus pada perkara-perkara kecil, karena menekankan secara berlebihan akan aturan, kebiasaan dan cara bertindak tertentu, ataupun mempersempit hidup pada struktur, yang telah jadi membatu. Hidup lalu menjadi beban.
Inisiatif selalu berasal dari Allah, sehingga rahmatlah yang pertama. Oleh karena itu kita diajak untuk membuka diri, bekerjasama dengan rahmat. Rahmat itu melampaui akal budi dan kehendak manusia, maka keduanya harus terus-menerus dimurnikan agar semakin sesuai dengan rahmat, dan sanggup menumbuhkan serta menghidupkan rahmat. Segala yang ada dalam diri kita, kita persembahkan, agar dibimbing oleh Roh sehingga selaras dengan rahmat yang dikaruniakan-Nya. Kekayaan Injil dan kesederhanaan pesannya janganlah lalu dipersempit dan dimiskinkan. Paus di sini mengingatkan akan keutamaan kasih, sebab kasihlah sebenarnya yang menjadi hukum terutama. Dalam kasih tersebut, Gereja diajak mencerminkan wajah Allah, juga wajah Allah yang terpantul pada banyak wajah-wajah lain, wajah-wajah sesama, terlebih yang membutuhkan dan tak berdaya. Kekayaan yang tidak akan lenyap, demikian dikatakan, adalah Allah dan sesama. Itulah wajah yang hendaknya dihadirkan Gereja, wajah yang memantulkan panggilan akan kekudusan.
Jalan menuju kesucian Bagi Paus Fransiskus dalam Gaudete et Exsultate menjadi suci berarti menghidupi pesan sabda bahagia. Kata bahagia dalam Injil memang memiliki arti akan makna kekudusan. Di dalamnya kita menemukan wajah Yesus Kristus, sang Guru. Dia mengajarkan serta mewujudkan nilai yang bertentangan dengan nilai yang ditawarkan dunia, nilai yang melawan arus dunia. Jalan pertama adalah jalan sikap lepas-bebas akan sarana, tidak menggantungkan rasa aman pada milik atau kekayaan, yang bisa menjadikan kita puas diri, sehingga tidak menyisakan ruang bagi Allah. Ini berarti berani menjadi biasa dan sederhana, serta selalu berani untuk mau berbagi. Inilah, menurut Paus, jalan kesucian: menjadi miskin hatinya. Jalan kedua adalah jalan kelemahlembutan dan kerendahan hati. Jalan ini ditempatkan di dalam kenyataan sikap sombong, tidak peduli dengan sesama baik dalam perkataan maupun perbuatan, ataupun pandangan yang mudah menganggap diri berhak untuk mendominasi sesama. Padahal, demikian Paus, sikap merendahkan sesama dan tidak sabar dengan mereka itu melelahkan dan menjadikan hidup kering, karena mudah mengeluh dan menyalahkan. Kelemahlembutan dan kerendahan hati merupakan wujud dari kemiskinan rohani, sikap yang meletakkan kepercayaan akan Allah belaka. Kesediaan dan keberanian untuk menangis bersama mereka yang menderita, adalah jalan kesucian ketiga. Demikian Gaudete et Exsultate. Di tengah dunia yang mengajarkan kesenangan, hiburan, lanturan dan sikap menarik diri, tanpa peduli, Tuhan menunjukkan jalan kepedulian, untuk tidak mengabaikan mereka yang menderita dan berduka. Sikap tidak peduli membuat kita menutup diri dari realitas penderitaan dan berusaha menyembunyikannya. Di sini tidak ada bela rasa. Padahal kita dipanggil untuk tidak takut untuk berbagi, tidak lari dari situasi yang menyakitkan, namun mau peduli dan membantu, dalam sikap belarasa. Lapar dan haus akan kebenaran, itulah jalan kesucian keempat. Rasa lapar dan haus terkait dengan kebutuhan dasar dan naluri bertahan manusia. Keadilan yang hendak dicapai dengan semua itu bukanlah keadilan bagi pemenang, sehingga ketidakadilan yang lebih diperoleh. Keadilan, sebagai buah dari kebenaran, menjadi nyata kalau menjadi adil sebagaimana dialami oleh mereka yang miskin dan lemah, bagi mereka yang tak berdaya. Jalan kelima berbicara tentang tindak belaskasih. Tindak belaskasih terwujud dalam tindak memberi, membantu dan melayani sesama, tetapi juga dalam tindak mengampuni. Di sini kita mengenal hukum emas, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian kepada mereka”. Ukuran yang kita pakai akan menjadi pula ukuran yang akan dikenakan kepada kita, demikian juga dalam hal pengampunan. Pengampunan memang merupakan tanda nyata dari belaskasih Ilahi. Tidak mengherankanlah kalau dikatakan Paus bahwa memberi dan mengampuni merupakan tanda-tanda kecil dan sederhana akan kesempurnaan Allah. Hati yang sederhana, murni dan bersih, yang tidak ingin melukai, menjadi ciri dari jalan kesucian yang keenam. Hati berbicara tentang kedalaman, sesuatu yang didamba dan dicari. Hati seperti itu senantiasa berbuah kasih. Itulah hati yang terjaga, bebas dari segala yang bisa menodai kasih, sebab memang dari dalam hati bisa tumbuh kejahatan dan bahkan kenajisan. Oleh karena itu kemurnian dan kebersihan hati perlu senantiasa dijaga, agar hati itu adalah hati yang mengasihi Allah dan sesama, hati yang memandang Allah. Menaburkan kedamaian di sekitar, itulah jalan kesucian ketujuh. Dunia ditandai dengan ketidakdamain, bukan saja karena ada perang dan pertikaian, namun pula karena kecenderungan diri untuk bergosip. Kedamaian seperti ini terwujud kalau kita tidak menyingkirkan seorang pun, bahkan di lingkungan terkecil sekalipun. Termasuk di dalamnya adalah merangkul mereka yang dipandang ganjil, yang bermasalah atau orang yang dianggap sulit, berbeda, tidak menarik dan yang kalah. Umat Kristiani memang dipanggil untuk menjadi pembawa damai di manapun. Konflik bukannya disangkal, namun diatasi dan dijadikan sebagai rangkaian dari proses kedamaian. Untuk itu dibutuhkan di sini kreativitas, ketulusan, kepekaan dan ketrampilan, menjadi pengrajin damai. Kedelapan adalah kesetiaan untuk menapaki hidup injili, betapapun menghadapi tantangan serta kesulitan. Diingatkan oleh Fransiskus bahwa jalan kekudusan adalah jalan berani melawan arus. Maka, dalam mengupayakannya tidak jarang akan menghadapi tantangan, goncangan dan bahkan perlawanan. Jalan kesucian bukanlah jalan mudah dan enak, sebab memang berlawanan dengan kecenderungan dunia. Tidak sedikit dari mereka yang menapakinya menghadapi penganiayaan, sehingga kematiran pun masih sering terjadi di zaman ini. Menjadi setia dalam menapaki jalan kesucian, betapapun berat dan bisa mendatangkan masalah bagi kita, itulah panggilannya. Kedelapan jalan kesucian, yang bercermin dari sabda bahagia tersebut, diperluas dalam Gaudete et Exsultate dengan penegasan akan kisah pengadilan terakhir dalam Injil Matius (lih Mat 25:31-46). Kriteria kesucian dengan demikian ada pada kenyataan sejauhmana kita peduli kepada mereka yang miskin, lapar, haus, telanjang dan sakit, orang asing serta terpenjara. Penyingkapan Kristus yang paling nyata dan mendalam, ada dalam diri mereka yang miskin dan menderita, sebab kepada mereka lah Kristus mengindentifikasikan diri-Nya. Maka tindakan kasih kepada mereka merupakan suatu undangan iman, sebab belaskasih merupakan denyut nadi Injil, hakekat dasar diri Allah. Panggilan ini mengajak kita untuk berani keluar dari diri sendiri, dari rasa aman serta nyaman diri, masuk ke dalam jalan belaskasih serta kemurahan hati Allah. Jalan kekudusan itu adalah jalan belaskasih, demikian Gaudete et Exsultate. Kesucian tiada lain adalah kasih yang dihidupi secara penuh. Belaskasih adalah kriteria, malahan dikatakan sebagai kunci menuju Surga. Kemurahan hati yang tumbuh dalam sikap berbelaskasihan adalah dasar yang paling mendalam dari kehidupan Gereja. Kedalaman kasih menjadi ukuran hidup beriman. Namun kemudian diingatkan dua hal oleh Paus Fransiskus. Pertama, memisahkan pelayanan kasih kepada orang miskin dengan doa. Kalau ini yang terjadi, Kristianitas sekedar sebagai LSM. Teladan para kudus menunjukkan bahwa doa dan pendalaman Kitab Suci malahan semakin menumbuhkan dan menyuburkan komitmen kasih kepada sesma. Kedua, keterlibatan sosial kepada sesama dianggap sekuler, duniawi dan dangkal, bahkan komunis. Di sini berlaku pemisahan tindakan profan dan sakral, padahal keduanya keduanya saling terkait satu sama lain. Selain itu, berlaku pula di sini pandangan bahwa pembelaan akan janin berbeda dengan pembelaan kepada kaum miskin. Kesucian tidak mungkin dibangun dengan mendiamkan ketidakadilan. Abai kepada kaum miskin pun adalah penodaan akan kesucian. Menelusuri tanda-tanda kesucian Di dalam Gaudete et Exsultate, Paus Fransiskus kemudian menunjukkan tentang tanda-tanda atau sikap-sikap yang menunjukkan tentang jalan kesucian. Dia mengatakan sebagai lima ungkapan penting kasih akan Allah dan akan sesama yang disadarinya sangat penting di dalam terang bahaya dan keterbatasan tertentu yang dihadapi dalam budaya dewasa ini. Kita lihat ada rasa kegelisahan, seringkali begitu akut, yang menganggung dan melemahkan; sikap negatif dan tawar hati; kepuasan diri yang dipupuk oleh konsumerisme; individualisme; dan segala bentuk spiritualitas “pengganti” – yang sama sekali tidak terkait dengan Allah – yang mendominasi pasar keagamaan dewasa ini. Yang pertama adalah rangkaian sifat ketekunan, kesabaran dan kelemahlembutan. Ketiganya menjadi berarti di tengah kecenderungan dewasa ini untuk bersikap mudah marah, balas dendam, kemarahan. Tekun, sabar dan lemah lembut adalah kekuatan batin yang memungkinkan kita, di tengah dunia yang melaju cepat, bising dan agresif ini, untuk memberikan kesaksian akan kesucian lewat kesabaran dan terus-menerus tekun melakukan kebaikan. Hal ini merupakan tanda kesetiaan yang lahir dari kasih, sebab mereka yang menaruh kepercayaan kepada Allah dapat pula setia kepada sesama. Mereka ini tidak akan meninggalkan sesamanya di saat-saat buruk; mereka menemani mereka di tengah kegelisahan dan kesulitan mereka, betapapun dengan melakukan itu semua tidak akan segera didapatkan kegembiraan. Kita perlu mengakui dan melawan kecenderungan agresif dan mementingkan diri sendiri, dan jangan biarkan semua itu tertanam, demikian diingatkan oleh Paus Fransiskus. Bahkan diakuinya bahwa umat Kristiani pun sering mudah terperangkap di dalam jejaring kekerasan verbal melalui internet dan berbagai forum komunikasi digital. Bahkan dalam media Katolik sekalipun, batas dapat dilangkahi, fitnah dan umpatan bisa menjadi biasa, serta segala standard etis dan penghargaan akan nama baik sesama dapat diabaikan. Mudah ditemukan bahwa orang berusaha membalas dari ketidaksenangannya dengan mencaci sesama, sehingga sepenuhnya menyangkal perintah ke delapan, yang melarang memberikan kesaksian palsu atau kebohongan, dan menjelekkan sesama secara kasar. Di sini kita melihat bagaimana lidah yang tak terjaga, yang dinyalakan oleh api neraka, siap membakar segalanya (lih Yak 3:6). Untuk itu diperlukan suatu kekuatan batin, sebagai buah karya rahmat, menghindarkan kita agar tidak dituntun oleh kekerasan, yang sering menjadi bagian dari kehidupan dewasa ini, sebab rahmat meredakan kesombongan serta menumbuhkan kelembutan hati. Selain itu perlu pula kerelaan untuk merendahkan diri di hadapan sesama, apalagi Allah. Kerendahan hati hanya akan berakar di dalam hati melalui perendahan diri. Tanpa itu tidak akan ada kerendahan hati atau kesucian. Bagi Paus bertindak dengan cara seperti itu mengandaikan sebuah hati yang diperdamaikan oleh Kristus, dibebaskan dari agresivitas yang lahir dari egoisme yang terlalu kuat. Tanda-tanda kedua adalah sukacita dan rasa humor. Diingatkan oleh Paus bahwa jauh dari malahan menjadi cuek, murung, sinis ataupun melankolis, atau menampakkan wajah suram, para kudus memiliki sukacita dan penuh rasa humor. Betapapun sepenuhnya realistis akan kenyataan hidup, namun mereka memancarkan sikap yang positif dan penuh harapan. Sehingga pada saat-saat yang berat tiba, ketika salib menghadirkan bayangnya, namun tak ada sesuatupun yang bisa memudarkan sukacita adikodrati. Sukacita tersebut memberikan rasa aman yang mendalam, harapan yang menentramkan dan kepenuhan spiritual yang tidak dimengerti dan dihargai dunia. Ini bukanlah sukacita yang diperoleh dari budaya individualistik dan konsumeris dewasa ini. Konsumerisme hanya mengasapi hati. Dia dapat memberikan kesenangan sesaat dan akan berlalu begitu saja, namun bukan sukacita. Di sini saya berbicara tentang sukacita yang dihidupi dalam kebersamaan, yang membagikan dan dibagikan, sebab “selalu lebih berbahagia memberi daripada menerima” (Kis 20:35) dan Allah bersukacita karena kebaikan dalam diri orang lain, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita” (Rom 12:15). Maka ini bukanlah sukacita yang berpusat pada kebutuhan diri sendiri belaka, dalam keberpusatan diri kita dihukum dengan kehidupan tanpa sukacita sejati. Sedangkan tanda-tanda ketiga yang dikatakan Paus adalah keberanian dan kehendak kuat. Kesucian adalah juga suatu keberanian, yang juga berarti suatu dorongan untuk mewartakan Injil dan meninggalkan suatu tanda di dunia ini. Di dalamnya termuat keberanian, antusiasme, kebebasan untuk berbicara, gairah rasuli, kebebasan untuk hidup terbuka di hadapan Allah dan sesama. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dan biasa. Beato Paulus VI, saat mengacu tentang hambatan dalam pewartaan, berbicara tentang lemahnya gairah sebagai sesuatu yang sangat serius sebab itu datangnya dari dalam diri. Betapa sering kita digoda untuk tetap berada di tepian, padahal Tuhan memanggil kita untuk berada di kedalaman dan melemparkan jala kita (lih Luk 5:4). Maka Paus lalu menasehatkan agar kita memerlukan dorongan Roh Kudus, jangan sampai kita menjadi tak berdaya karena ketakutan dan kehati-hatian yang berlebihan, jangan sampai kita tumbuh dengan terlalu menjamin rasa aman diri, ketertutupan diri yang tidak menyehatkan. Fransiskus lalu memakai gambaran tentang Yunus, yang digoda untuk lari menuju ke pelabuhan yang aman. Pelabuhan aman ini punya banyak nama: individualisme, spiritualisme, hidup dalam dunia yang sempit, kecanduan, keras pada pendirian, penolakan akan gagasan-gagasan dan pendekatan-pendekatan baru, dogmatisme, nostalgia pesimisme, berlindung di balik hukum dan aturan. Kita dapat menolak semua itu dengan meninggalkan untuk melakukan sesuatu yang sudah biasa dan mudah. Namun tantangan yang menghadang bisa seperti topan, ikan paus, ulat yang mengeringkan pohon jarak, atau angin dan matahari yang membakar kepala Yunus. Kepuasan itu godaan; dia mengatakan kepada kita bahwa tidak ada suatu alasan untuk mencoba mengubah, tidak ada sesuatu yang dapat kita lakukan, sebab segalanya memang semestinya seperti itu dan kita selalu bertahan menanganinya seperti itu. Kita membiarkan segalanya berjalan seperti biasa, atau menjadi sebagaimana telah diputuskan oleh orang lain. Maka, kata Paus, kita perlu membiarkan Tuhan membangunkan kita dari mati suri kita, membebaskan kita dari kelambanan kita. Kita perlu memikirkan kembali cara yang biasa kita buat dalam melakukan sesuatu; membuka mata dan telinga, terutama membuka hati, agar tidak puas diri akan segala sebagaimana adanya, namun mau digoncangkan oleh sabda yang hidup dan berdaya dari Tuhan yang bangkit. Tanda keempat adalah pewujudan dalam komunitas. Tidak ada seorang pun yang bisa hidup sendiri. Kalau kita hidup terpisah dari sesama, sangatlah sulit lalu untuk melawan nafsu, jerat perangkap dan godaan dari iblis dan keberpusatan diri dunia ini; kala diberondong oleh berbagai macam bujukan yang memikat, kita dapat tumbuh begitu terisolasi, kehilangan kepekaan akan realitas dan kebeningan batin, dan lalu dengan mudah mengalah. Tumbuh dalam kesucian memang adalah perjalanan dalam kebersamaan, berjalan beriring bersama yang lain. Masing-masing komunitas dipanggil untuk menciptakan ruang yang memancarkan Allah supaya mengalami kehadiran tersembunyi Tuhan yang bangkit, terutama dengan berbagi sabda dan merayakan Ekaristi bersama, sehingga menumbuhkan persaudaraan dan menjadikan kita komunitas yang saleh dan misioner. Hal itu juga menumbuhkan pengalaman mistik yang otentik dan terbagikan. Sebuah komunitas diharapkan menghargai detil-detil kecil kasih, di mana para anggotanya saling memberi perhatian satu sama lain dan menciptakan lingkungan yang terbuka dan mewartakan, merupakan sebuah tempat di mana Tuhan yang bangkit hadir, menyucikannya seturut dengan rencana Bapa. Komunitas seperti ini perlu dibangun untuk menghadapi tendensi berkembangnya budaya individualisme konsumeris dewasa ini. Kelima, tanda-tanda kesucian diwujudkan dalam doa terus-menerus. Tidak bisa disangkal bahwa menapaki jalan kesucian kesucian termuat dalam kebiasaan terus-menerus mengarahkan diri kepada yang transenden. Para kudus dikenali dari semangat doa dan kebutuhan akan komunikasi dengan Allah. Mereka menemukan bahwa perhatian khusus dengan dunia ini menjadi semakin sempit dan memudar, dan, di tengah kepedulian dan komitmen diri mereka, mereka senantiasa rindu akan Allah, menenggelamkan dirinya sendiri dalam pujian dan kontemplasi akan Tuhan. Saya tidak percaya akan kesucian tanpa doa, walau pun doa tersebut tidak perlu panjang atau melibatkan emosi yang kuat. Oleh karena itu kita perlu untuk menyediakan diri sendirian dengan Allah. Di dalam keheningan seperti itu, kita dapat mempertimbangkan, dalam terang Roh Kudus, tapak jalan kesucian, yang merupakan panggilan Allah kepada kita. Kalau tidak, setiap keputusan yang kita buat hanya akan merupakan kedok belaka yang, bukannya memuliakan Injil dalam kehidupan kita, namun lebih akan menutupi atau menenggelamkannya. Bagi setiap murid, adalah penting untuk menyediakan waktu dengan guru, mendengarkan perkataannya dan senantiasa belajar daripadanya. Jika kita tidak mendengarkan, semua kata-kata kita tidak berarti namun hanyalah obrolan yang tidak berguna. Kesucian sebagai jalan kemuridan memang membutuhkan kesedian untuk diam, hening dan mendengarkan. Namun doa-doa semacam itu bukanlah doa yang menjadi bentuk pelarian dan penolakan akan dunia. Doa sejati mendorong kita untuk mewujudkan buah-buah doa yang kita gumuli, dalam pewujudan kasih nyata. Kelima tanda-tanda kesucian tersebut tidaklah dibangun dan diperoleh lewat langkah dan hasil sekali jadi. Tanda-tanda kita menjadi bagian dari pergulatan terus-menerus. Hidup adalah bergulat. Kita di sini tidak saja berurusan dengan pergulatan melawan dunia dan mentalitas duniawi yang dapat memperdaya kita dan membiarkan kita tumpul dan suam-suam kuku, kehilangan semangat serta sukacita. Tidak pula pergulatan ini hanya dipersempit pada perjuangan melawan kelemahan manusiawi kita dan kecenderungan-kecenderungan negatif kita (malas, nafsu, iri hati, cemburu, dan lainnya), sebab hal ini juga suatu pergumulan terus-menerus melawan iblis, pangeran kejahatan. Di sini ada suatu keyakinan teguh bahwa kekuatan yang jahat sungguh hadir di tengah-tengah kita, dengan kekuatan merusaknya yang besar. Kesalahan yang terjadi adalah kita mengendorkan kewaspadaan, tumbuh kurangnya kecermatan dan akibatnya menjadi rentan. Kalau kita mengendorkan kewaspadaan kita, dia akan mengambil keuntungan darinya untuk menghancurkan kehidupan kita, keluarga dan komunitas kita. Sepanjang perjalanan ini, penanaman segala apa yang baik, kemajuan dalam kehidupan rohani dan pertumbuhan akan kasih merupakan cara terbaik untuk mengimbangi iblis. Mereka yang memilih untuk netral, yang puas dengan yang biasa, yang menyangkal yang ideal dalam memberikan diri sepenuh hati kepada Tuhan, tidak akan pernah bertahan. Pembusukan rohani lebih buruk daripada kejatuhan seorang pendosa, sebab itu merupakan bentuk kebutaan yang menyenangkan dan puas diri, demikian menurut Paus. Untuk itu kita perlu senantiasa memohon rahmat untuk penegasan rohani, atau karunia berdiskresi. Diskresi adalah sarana perjuangan rohani untuk membantu kita mengikuti Tuhan dengan lebih setia. Bagi Fransiskus karunia penegasan rohani menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan dewasa ini, sebab kehidupan saat ini ditandai dengan kemungkinan luas akan tindakan dan kebingungan, dan dunia menghadirkan itu semua sebagai sesuatu yang sah dan baik. Semua dari kita, namun terutama kaum muda, terbenam dalam suatu budaya yang bergerak cepat. Kita dapat menelusuri secara bersamaan dua atau lebih layar dan berinteraksi pada saat yang sama dengan dua atau tiga skenario virtual. Tanpa kebijaksanaan diskresi, kita dapat dengan mudah menjadi mangsa setiap kecenderungan yang lewat. Penegasan rohani diperlukan tidak saja hanya pada saat-saat luarbiasa, ketika kita perlu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan berat dan membuat keputusan-keputusan penting. Kita memerlukannya di setiap saat, untuk membantu mengenali saatnya Allah, jangan sampai kita gagal memperhatikan dorongan rahmat-Nya dan mengabaikan undangan-Nya untuk tumbuh. Seringkali penegasan rohani dijalankan dalam hal-hal yang sederhana dan tampak tidak relevan, karena keagungan Roh diwujudkan dalam realitas biasa hidup sehari-hari. Hal itu memerlukan upaya keras akan apa yang besar, lebih baik dan lebih indah, sementara pada saat yang sama penuh perhatian akan hal-hal yang kecil, tanggungjawab serta komitmen setiap hari. Karena alasan ini, saya meminta semua umat Kristiani untuk tidak mengabaikan, dalam dialog dengan Tuhan, “pemeriksaan batin” yang jujur di setiap harinya.
Tuhan berbicara kepada kita dalam berbagai cara yang berbeda, melalui sesama dan di setiap peristiwa. Namun kita tidak dapat benar-benar mengenalinya tanpa keheningan yang tumbuh dari doa, yang memampukan kita untuk mencecap bahasa Allah dengan lebih baik, untuk menafsirkan makna sejati dari inspirasi yang kita yakini telah kita terima, untuk meredakan kegelisahan kita dan untuk melihat keseluruhan diri kita secara baru dalam terang-Nya. Dengan cara seperti ini, kita memungkinkan lahirnya suatu sintesa baru yang tumbuh segar dari kehidupan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Maka kita musti mengingat bahwa diskresi penuh doa lahir dari kesediaan untuk mendengarkan: kepada Tuhan dan kepada sesama, dan kepada realitas itu sendiri, yang senantiasa menantang kita dengan cara-cara baru. Hanya kalau kita bersiap untuk mendengarkan, kita mempunyai kebebasan untuk menanggalkan gagasan-gagasan diri kita yang terbatas dan tak memadai, kebiasaan-kebiasaan kita dan cara kita memandang sesuatu. Dengan demikian, kita menjadi sungguh terbuka untuk menerima suatu panggilan yang dapat meremukkan rasa aman kita, namun menuntun kita pada hidup yang lebih baik. Tidaklah cukup bahwa segalanya berjalan tenang dan damai. Allah bisa jadi memberi kita sesuatu yang lebih, namun dalam ketidaktahuan kita yang membuat nyawan, kita tidak mengenalinya. Penegasan rohani membebaskan kita dari sikap kaku, yang tidak memberi tempat bagi “saat ini” yang abadi dari Tuhan yang bangkit. Roh Kudus sendiri dapat merasuk pada apa yang gelap dan tersembunyi dalam setiap situasi, serta mengenali setiap nuansanya, sehingga kebaharuan Injil dapat muncul dalam cahaya yang lain. Menurut Paus kondisi mendasar bagi pertumbuhan dalam penegasan rohani adalah perkembangan pemahaman akan kesabaran dan rancangan waktu Allah, yang tidak pernah bisa kita ketahui. Allah tidak akan menurunkan api kepada mereka yang tidak percaya (lih Luk 9:54), atau membiarkan pekerja yang giat mencabuti lalang yang tumbuh di antara gandum (lih Mat 13:29). Kemurahan hati pun dibutuhkan, sebab lebih berbahagia memberi daripada menerima (lih Kis 20:35). Penegasan rohani bukanlah tentang menemukan apa yang akan kita peroleh dalam hidup ini, namun mengenali bagaimana kita dapat memenuhi perutusan yang dipercayakan pada saat pembaptisan dengan lebih baik. Hal mengharuskan kesediaan untuk berkorban, bahkan mengorbankan segalanya. Sebab kebahagiaan itu sesuatu yang paradoks, sebagaimana merupakan logika salib. Seketika kita masuk ke dalam dinamika tersebut, kita tidak membiarkan kesadaran kita tumpul dan kita membuka diri kita dengan suka hati untuk melakukan penegasan rohani. Penegasan rohani, karenanya, bukan suatu analisa diri yang hanya membuat bangga diri belaka atau suatu bentuk introspeksi egoistik, namun suatu proses otentik yang menanggalkan diri agar supaya dapat mendekati misteri Allah, yang membantu kita untuk menjalankan tugas perutusan yang Dia nyatakan kepada kita, bagi kebaikan sesama kita. Demikianlah Paus Fransiskus mengajak kita menggali panggilan akan kesucian bagi kita semua. Dengan menuliskannya dia berharap semua ini dapat membantu untuk memungkinkan seluruh Gereja membaktikan dirinya secara baru untuk menumbuhkan hasrat akan kesucian. Maka Paus mengajak kita untuk memohon agar Roh Kudus mengarunikan kita kerinduan yang membara untuk menjadi para kudus demi kemuliaan Allah yang lebih besar, dan menjadikan kita saling meneguhkan satu sama lain dalam upaya ini. Dengan demikian, kita akan membagikan kebahagiaan yang dunia ini tidak akan dapat diambil dari kita. Untuk itu kita perlu bercermin pada Maria. Dia mengajari kita jalan menuju ke kesucian dan mengiringi langkah jalan kita. Dia tidak membiarkan kita terjatuh dan pada saat seperti itu dia memeluk kita dengan tangan-Nya tanpa mempersalahkan kita. Saat doa dan berkat Urbi et Orbi, Paus mengajak kita, berdasarkan kisah Tuhan yang meredakan angin ribut (lih Mrk 4:35-41), menghadapkan diri pada pertanyaan Yesus, “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Kitapun diajak untuk menapaki jalan kesucian dengan dan karena percaya kepada-Nya.

Kesucian imam saat ini
Paus Fransiskus menyebut kepada La Stampa (22 Maret) saat ini sebagai situasi padang gurun. Gambaran serupa diperlihatkannya saat doa Urbi et Orbi, Paus Fransiskus mengawali homilinya dengan mengutip gambaran keadaan dari teks bacaan yang dipakai, “Waktu itu hari sudah petang” (lih Mrk 4:35). Dunia saat ini sedang mengalami masa kelam, saat gelap, kegetiran dan kegelisahan karena virus korona yang mewabah sebagai pandemi. Kekelaman menyelimuti seluruh dunia, tampak dari jalanan yang sepi, aktivitas yang terhenti, pusat-pusat keramaian ditutup. Seakan hanya ditemukan hening dan kosong. Situasi krisis ini baginya justru menantang untuk lebih kreatif, lebih percaya. Dibutuhkan kesediaan untuk menanamkan kemampuan berimajinasi dalam kesetiaan yang kreatif. Tatanan baru perlu dibangun, tatanan yang saling mau peduli dan memperhatikan kesulitan dan penderitaan (lih 1 Kor 12:26). Dalam tatanan baru tersebut perlu diperhatikan kualitas hidup, kedalaman makna akan tujuan hidup dan kesalingketerkaitan satu sama lain. Itulah Gereja yang berjalan dalam langkah sabda bahagia.
Kesucian membawa kita ke dalam sikap lepas-bebas, keluar dari segala kelekatan kita, kelekatan karena cinta, kepentingan dan kehendak diri. Segalanya kita tempatkan dalam kerangka Allah, sebab Dia adalah asal dan tujuan kita. Namun kerangka Allah itu dinyatakan dan diwujudkan dalam keterarahkan kepedulian dan perhatian kasih kepada sesama. Paus Fransiskus dalam renungan Urbi et Orbi menunjukkan bahwa kita semua, seluruh umat manusia, nyatanya berada dalam perahu yang sama, perahu yang dihantam badai, diterpa topan. Tidak bisa orang hanya mau selamat dan menang sendiri, keberpusatan pada diri sendiri tidak akan menyelamatkan. Tidak bisa orang sehat sendiri, sebab yang dibutuhkan saat ini komunitas dan masyarakat yang sehat. Kita saling bergantung satu sama lain.
Kebergantungan tersebut membawa pada kesadaran bahwa sebagai imam kita serba terbatas dalam kemampuan dan pemahaman. Kita tidak bisa menjelaskan virus korona, demikian juga dampak ekonomi, sosial dan politiknya, karena itu diluar kemampuan pemahaman kita. Di sinilah tuntutan akan kerjasama dengan semua pihak diperlukan. Keputusan pastoral yang dibuat mengandaikan adanya dialog dan kolaborasi, sehingga kebijakan yang dibuat tidak keliru. Pandemi korona mengundang akan kesadaran kerjasama, dalam kerangka pelayanan sosial di tengah masyarakat kita. Selain itu kita disadarkan pula pentingnya kesehatan masyarakat, perhatian tidak saja kepada pelayan dan fasilitas medis, namun pula terciptanya komunitas yang sadar kesehatan sebagai salah satu ciri dan kebutuhan kehidupan bersama.
Fransiskus dalam Urbi et Orbi menunjuk pada kesadaran baru di tengah pandemi korona ini: kesadaran akan hospitalitas, persaudaraan dan solidaritas. Di tengah dunia yang seakan dipacu berjalan cepat, wabah seakan mengajak kita untuk memperlambat kecepatan, menata jalannya kehidupan dalam keselarasan keberagaman hayati dan kebersamaan sosial dan spiritual. Tidak ada seorang pun yang bisa seorang diri. Kita semua adalah bagian dari keseluruhan umat manusia. Kita saling tergantung, semakin terhubung, diajak untuk semakin peduli dan berbagi, semakin merawat satu sama lain, menjadikan agar dunia kehidupan kita menjadi semakin baik. Dengan mengatakan hal ini, dia mengajak kita menemukan cara menggereja di tengah tantangan situasi yang ada. Saat diwawancarai oleh media Italia La Repubblica (18 Maret) Paus mengatakan luka-derita saat ini hendaknya membuka diri kita untuk belajar akan hal-hal yang konkret. Setiap sikap dan tindakan kita, betapapun personal, akan berdampak pada orang lain, demikian lanjutnya. Situasi ini menjadi kesempatan dan ajakan untuk mengubah cara hidup dan cara bertindak kita, semakin menjadi manusia baru di dalam Dia.
Dengan ini kita diingatkan bahwa imam adalah men of community. Dokumen Abu Dhabi “Human Fraternity” menjadi acuan untuk ini. Akademi kepausan akan kehidupan (Pontifical Academy for Life) dalam dokumennya “Pandemic and Universal Brotherhood (30 Maret 2020) menyebutkan wabah korona ini tantangan bagi kemanusiaan yang dihadapi oleh semua umat manusia. Sekarang tinggal bagaimana kita mengambil tanggungjawab atas tantangan tersebut. Lepas dari segala perbedaan teologis dan hukum antara agama satu dengan agama lain, namun kita berada dalam perahu yang sama, perahu persaudaraan umat manusia. Di dalam kenyataan itu, imam menempatkan diri sebagai pembangun persaudaraan, pelayan kebersamaan. Gaudete et Exsultate sendiri menunjukkan bahwa kesucian ada dan nyata dalam komunitas, apalagi kita berada dalam perahu Gereja Katolik yang kudus, dan dalam kenyataan Gereja yang berada di tengah dunia, kita berada pula dalam perahu persaudaraan umat manusia. Mengenakan istilah dari homili Paus di hari Sabtu, 28 Maret, imam bukanlah kaum elite, yang terpisah dari yang lain. Imam adalah bagian dari umat, bagian dari sesama. Imam, dengan demikian, adalah pelayan persaudaraan yang lintas batas. Kesucian imam menjadi berarti karena menjadi bagian dari perjalanan bersama umat manusia menapaki jalan kesucian. Tidak bisa seorang imam menjadi suci sendiri, menjadi bagian dari perjalanan bersama menuju pada Tuhan.
Persaudaraan baru itulah tantangan hidup menggereja di masa korona ini. Kita diingatkan bahwa menjadi manusia berarti membangun kesatuan umat manusia dalam satu persaudaraan, kekeluargaan. Gereja adalah bagian dari dunia, bukan pemilik dunia ini. Tidak lagi kita melihat sesama sebagai orang lain, namun sebagai bagian dari diri kita. Maka situasi yang dihadapi bersama ini kita pecahkan pula secara bersama. Kolaborasi dan keterbukaan satu sama lain menjadi penting, persaudaraan sesama umat manusia. Dokumen Abu Dhabi yang ditandatangani Paus menyebutkan hal ini. Di masa krisis ini kita diajak melihat lebih jelas, sarana komunikasi sosial menjadi media penting dalam berelasi, dalam membangun jejaring kemanusiaan. Media adalah pesan. Pesannya adalah membangun kesadaran persaudaraan yang lebih luas, melewati batas-batas ruang. Pelayanan pastoral pun semakin menemukan jalan-jalan kreatif, secara visual dengan cakupan akses yang semakin luas.
Dalam kerangka hidup sakramental, kenyataan persaudaraan ini juga mutlak. Paus Yohanes Paulus II mengingatkan Ekaristi yang hidup mengandaikan dan mensyaratkan pula adanya komunitas yang hidup. Di dalamnya sudah tertanam persaudaraan satu sama lain. Di saat Ekaristi yang hanya bisa diikuti secara online banyak orang semakin menyadari pentingnya kebersamaan komunal dan ekklesial. Kebersamaan sakramental tidak bisa dilepaskan dari kebersamaan konkret sehari-hari: roti yang terpecah bagi dunia kehidupan yang terpecah, agar kesatuan dan keutuhan dipulihkan. Persekutuan dengan Tuhan membangun dan mewujud dalam persekutuan dengan sesama, di tengah dunia ini.
Situasi keterbatasan korona mengundang pada kreativitas pelayanan pastoral. Kemajuan teknologi informasi membuka ruang dan peluang akan itu. Kita bisa memanfaatkannya. Akan tetapi menjadi pertanyaan, sejauhmana pelayanan online yang tidak jalankan tidak sekedar atau seakan menjadi “tontonan”. Diakui oleh Akademi Kepausan akan kehidupan mengatakan tentang hal ini, di tengah eforia akan kemajuan teknologi dan menejeman, kita nyatanya secara sosial dan teknologi tidak siap menghadapinya wabah yang menimpa. Kerentaan dan kegamangan, bahkan kekacauan yang diakibatkannya melampaui batas prediksi dan kemampuan ilmu dan teknologi. Justru di sini primat akan kemanusiaan menemukan kembali letaknya yang mendasar dalam dunia kehidupan kita. Imam, dalam konteks ini, adalah pelaku dan pejuang primat kemanusiaan, dengan berakar pada antropologi Kristiani berlandaskan pada misteri inkarnasi.
Teknologi informasi bukan soal “trend” tetapi tetap adalah sarana. Sarana itu mengarah pada adanya perjumpaan. Berulang kali Paus menyuarakan dorongan untuk menumbuhkan budaya perjumpaan. Korona menyadarkan kita akan perjumpaan dalam level dasar: keluarga dan lingkungan terdekat, maka keluarga atau komunitas kecil yang berdoa bersama menjadi perlu dan penting dibangun, mewujudkan ecclesia domus. Bagaimana lalu, dengan memanfaatkan media baik audio ataupun visual, imam mendorong terbangunnya hidup doa dalam keluarga dan kesediaan untuk mendalami Kitab Suci, atau bahkan sampai pada sharing iman. Dalam Christus Vivit, Fransiskus mendorong terwujudnya dialog antar generasi, sebagai kondisi dasar bagi tumbuhnya profetisme dan kenangan.
Saat krisis memunculkan kreativitas. Krisis itu sendiri merupakan kesempatan untuk percaya (: credere), sebeb krisis mengajak kita untuk berani melangkah, tidak tinggal diam. Keberanian tersebut mengundang kreativitas, dalam kesetiaan yang kreatif (creative fidelity). Kita diajak membuka diri akan daya kreatif yang dikarunikan oleh Roh Kudus. Karunia penegasan rohani dalam GE diharapkan untuk kita mohonkan terus-menerus, masuk dalam rancangan kehendak dan waktu Allah. Penegasan rohani tersebut dihadapkan pada situasi yang tidak mudah dewasa ini. Kita biasa membuat rancangan ataupun agenda dalam situasi normalitas, seakan-akan semuanya akan berjalan normal, sebagaimana bisa kita prediksikan. Paus saat adorasi di hari Jumat, 27 Maret 2020 menyebutkan wabah korona menggugat kepastian yang biasa kita anut, agenda yang padat, aktivitas yang penuh dan rancangan yang rinci. Dalam bahasa GE kita diajak untuk melihat, jangan-jangan kita telah terjebak dalam apa yang dikatakan Paus sebagai kesesatan zaman ini: gnotisme dan pelagianisme baru. Segala hal yang seakan pasti dan menjamin menjadi goyah dan goncang, ketika badai wabah datang, kita kehilangan itu semua. Kita memang suka menggantungkan diri pada normalitas, akan tetapi tidak siap ketika menghadapi situasi yang tidak normal.
Pada saat seperti itu, kita berteriak kepada Tuhan, karena merasa hidup kita terancam. Perang dan ketidakadilan, jeritan orang miskin dan bumi ini, tidak mampu mengusik kita. Kita mudah merasa akan tetap sehat dan selamat di tengah dunia yang sakit ini. Egoisme dan individualisme membutakan kita, dan kita baru sadar akan kerapuhan ketika menghadapi keterjepitan dan segala pembatasan seperti saat ini. Ternyata pengalaman tersebut membawa kita pada hal yang penting dan mendasar, bahwa kita sebenarnya adalah bagian dari sesama dan bumi ini. Kita bukan pemilik kehidupan, sebab kehidupan milik Tuhan, maka kita memohon pertolongannya, walau karenanya harus berani digugat: mengapa takut dan tidak percaya. Maka wabah korona menjadi undangan untuk bertobat. Misteri kerapuhan mengundang untuk masuk ke ruang hidup yang lebih dalam, dan itu adalah pengalaman akan rahmat. Kita memasuki paradoks hidup beriman: di satu sisi memohon agar wabah korona bisa berakhir; di sisi lain, bersyukur karena pengalaman akan pandemi ini membuka kesadaran baru, melihat ada sesuatu yang salah dalam hidup kita, sehingga mengajak kita untuk berubah.
Hidup yang seakan selalu dipacu dalam irama yang cepat dan gelombang yang bergulir terus. Kini kita diingatkan untuk berani ambil waktu istirahat, mengendorkan kecepatan, menyediakan waktu untuk rileks, membaca atau menyediakan waktu untuk sesama. Kita diingatkan akan apa yang dikatakan Paus dalam Evangelii Gaudium, waktu lebih penting daripada ruang, proses lebih penting daripada hasil. Ketekunan, kesabaran dan kelemahlembutan, itulah tanda-tanda kesucian, berani menapaki proses, jangan membiarkan diri dikuasai oleh gerak cepat hasrat untuk bisa segera mendapatkan hasil. Formasi iman mengajak kita untuk menekuni proses, dalam jangkauan batas waktu yang tidak mengenal batas, sampai akhir hidup kita. Di dalam ajakan ini pandemi korona mengingatkan kita untuk lebih memberi perhatian kepada mereka yang lemah dan rentan hidupnya: kaum miskin, orangtua dan anak-anak. Hal ini merupakan panggilan iman (lih Mat 25:40-45). Tidak mengherankanlah kalau Paus Fransiskus pandemi korona ini seakan seperti laboratorium kemurahan hati dan belaskasih. Iman yang injili mendapatkan batu ujinya dari peristiwa ini. Kesadaran akan kesalingketerkaitan satu sama lain, interkoneksitas aktual dan virtual diharapkan dapat menumbuhkan solidaritas. Imam sebagai insan Gereja memiliki peran penting di sini, membangun komunitas gerejani yang peduli.
Tentu menapaki hidup di tengah krisis dan terpaan badai itu tidak mudah. Kita bisa menjadi tertekan, lalu menyerah-kalah oleh kesulitan dan tantangan. GE menyebutkan tanda-tanda kesucian itu antara lain adalah keberanian dan kehendak kuat. Tanda kesucian ini ditempatkan pula pada tanda yang lain: sukacita dan rasa humor. Seorang imam, sebagai pelayan umat dan saksi kehadiran Gereja, tidak diharapkan menjadi orang yang panik, terjerat dalam kecemasan dan ketakutan yang berlebihan, namun tetap bisa jernih dalam berpikir dan bening dalam mempertimbangkan. Tentu hal ini hanya bisa berlaku kalau imam memiliki kerohanian yang kuat dan mendalam. Paus lalu menyebut bahwa kesucian hanya bisa dimiliki kalau dibangun hidup doa yang terus-menerus. Imam, bagaimana pun adalah seorang pendoa, terlebih karena dirinya menghadirkan Gereja yang berdoa dan memimpin Gereja yang menjalankan hidup doanya, terutama dalam perayaan sakramen keselamatan Allah. Dengannya kita diajak menghidupkan dan memperbaharui iman Paskah, dengan salib-Nya kita semua akan selamat. Maka pengalaman krisis membawa kita bukan kepada pengucilan diri, namun ke dalam pengalaman kesatuan dengan Tuhan dan persaudaraan dengan sesama. Itu hanya mungkin kalau kita berani memeluk salib penyelamatan Tuhan.
Rasa takut dan kurang iman, menumbuhkan dambaan akan keselamatan. Kita tidak bisa bergantung pada diri sendiri, kita membutuhkan Allah. Maka kita mengundang Yesus untuk bertindak, menjadikan badai ini reda. Dengannya kita diajak menghidupkan dan memperbaharui iman Paskah, dengan salib-Nya kita semua akan selamat. Maka pengalaman krisis membawa kita bukan kepada pengucilan diri, namun ke dalam pengalaman kesatuan dengan Tuhan dan persaudaraan dengan sesama. Itu hanya mungkin kalau kita berani memeluk salib penyelamatan Tuhan. Berani memeluk salib berarti berani menghadapi dan mengalami kesulitan dan tantangan saat ini. Kita diajak membuka diri akan daya kreatif yang dikarunikan oleh Roh Kudus. Dengannya kita diajak menemukan bentuk baru dari hospitalitas, persaudaraan dan solidaritas. Hal itu merupakan pelukan salib yang menumbuhkan harapan, harapan yang memperkukuh iman sehingga kita tidak lagi takut. Maka Fransiskus mengakhiri dengan penyataan warta Paskah, “Jangan takut” (Mat 28:5). Agar kita tidak takut namun percaya kita diajak untuk menyerahkan segala kekhawatiran kepada Tuhan, sebab Dia memelihara kita (lih 1 Ptr 5:7).
Wabah korona mengajak kita menyadari apa yang penting bagi pembaharuan hidup: mendasarnya hidup doa. Berulangkali Paus mengajak kita berdoa, sebab kita hanya bisa berpaling kepada-Nya, mengandalkan Dia. Tetapi kita dibukakan oleh kenyataan kebersamaan hidup sebagai umat manusia. Virus mengena pada siapa saja, tidak ada pembedaan. Maka kita semua harus saling menjaga satu sama lain, agar kita sendiri pun selamat. Di sinilah sikap peduli, mau saling memelihara kebersamaan dan menumbuhkan persaudaraan baru. Hal ini menjadi konsekuensi dari memeluk salib, saling memeluk derita sesama karena kita pun bagian dari mereka. Memeluk derita ini juga mengajak kita untuk memeluk ibu bumi, sebab wabah ini menyadarkan kita bahwa kita bagian dari bumi. Menjaga keselarasan dan keseimbangan dunia dan bumi ini menjadi penting dalam hidup beriman kita.
Apa yang dikatakan dan dilakukan Paus menggugah jutaan orang dari segala penjuru dunia. Dunia membutuhkan doa, dunia membutuhkan kesaksian akan kepedulian dan persaudaraan dan hospitalitas baru. Gereja diajak dengannya untuk berakar kuat ke dalam, dengan olah rohani kesatuan dengan Allah, namun pula semakin peduli untuk keluar, menyapa semua orang, membangun dunia dan persaudaraan umat manusia secara baru. Bila krisis ini mengubah kita, maka kita akan melihat rahmat kebangkitan dan penebusan yang mewujudnyata dalam dunia kehidupan kita.
Panggilan kesucian imam di masa korona ini, bila demikian, mengajak kita untuk membuat pilihan yang mendasar, agar kita tidak mudah terjebak dan tenggelam pada segala hal yang lebih bersifat sementara belaka. Pertama, pentingnya membangun relasi pribadi yang erat dengan Allah. Umat pada dasarnya mengharapkan doa dari para imamnya, sehingga mereka minta didoakan. Imam pertama-tama bukan administrator dan birokrat, karena rahmat tahbisan dicurahkan kepada para imam terutama bagi tugas pengudusan. Tugas pengudusan tersebut tidak saja diwujudkan dalam pelayanan dan perayaan Sakramen, namun juga dalam membangun jemaat tubuh Kristus, sehingga ikut serta menjadikan Gereja ini sungguh menjadi Gereja yang satu, kudus dan apostolik. Namun kebersamaan sebagai tubuh ini tidak saja berciri eksklusif, namun pula keluar, membangun kebersamaan umat manusia, dengan siapa saja yang berkehendak baik. Di sini pentingnya dialog dan kerjasama, serta pewujudan prinsip-prinsip moral hidup dan ajaran sosial Gereja. Kebersamaan ekklesial dan sosial tersebut Tubuh yang dibangun adalah tubuh yang hidup, sebagai tubuh pelayanan, dalam kesadaran baru akan hospitalitas, persaudaraan dan solidaritas. Pilihan prioritas diarahkan kepada mereka yang rentan dan terlantar. Itulah kesucian yang berkar ke dalam dan berbuah keluar bagi pewujudan Kerajaan Allah.
Memeluk Surga dan dunia serta bumi ini, itulan paradoks hidup beriman kita. Penebusan merupakan undangan untuk menyatukan tegangan antar keduanya, memadukannya dalam rahmat pendamaian Kristus. Diharapkan dengan semua itu, “.. mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di Surga” (Mat 5:16).

Share this Post