Catatan Harian Pastoran, Rabu, 8 April 2020
Setelah melaksanakan rekoleksi untuk meneguhkan kembali panggilan imamat pada hari senin hingga Selasa, 6-7 April 2020, kami satu komunitas merayakan Ekaristi Pembaharuan Janji Imamat pada hari Selasa, 7 April 2020, secara online bersama Bapak Uskup melalui Youtube, kami didatangi oleh Rm. Sukawalyana yang baru pulang bertugas dari Keuskupan Agung Medan. Akhirnya kami merayakan Ekaristi bertiga, dalam suasana yang sangat sederhana. Setelah itu, kami makan bersama dan ngobrol bersama hingga malam menjelang.
Pada hari Minggu awal Pekan Suci, kami merayakan Perayaan Ekaristi Minggu Palma bersama dengan keluarga pastoran. Sangat sederhana karena memang tidak diperkenankan untuk menghadirkan banyak umat. Situasi ini memang masih terus berlangsung, entah hingga kapan karena Covid 19 belum sepenuhnya dapat diatasi. Semakin hari, kasus orang terjangkiti semakin banyak, dan masyarakat pun masih tetap dihimbau untuk tidak mengadakan perkumpulan yang melibatkan orang banyak. Maka pada perayaan Minggu Palma, perayaan ekaristi tidak berlangsung seperti biasanya, hanya sederhana dan hanya diikuti oleh beberapa orang.
Hari-hari berlangsung begitu cepat, disertai juga dengan perasaan ketidakpastian yang terus menggelayut, menanti saat dimana wabah ini berlalu dan kami dapat berdinamika seperti dulu. Sebab selain ancaman virus, ancaman tentang terpuruknya ekonomi akibat begitu banyak usaha yang tutup, tetap saja menjadi kekhawatiran tersendiri. Namun dengan rekoleksi para imam, aku diajak untuk kembali merefleksikan panggilan sebagai imam, terutama di tengah situasi seperti ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak terdampak. Semua orang tetap terkena dampak dari situasi ini sebab antar pribadi manusia itu saling terhubung. Virus Corona ternyata menyerang tidak hanya fisik manusia, tetapi jiwa. Saat manusia yang sebenarnya terhubung satu sama lain, saling membantu, namun tidak bisa dilakukan secara biasa karena memang kontak fisik dilarang untuk mencegah penularan. Semoga dengan adanya pembatasan kontak fisik, kontak jiwa tidak lagi terbatasi. Namun entah kenapa, tetap saja dampak untuk tidak terjadi kontak secara jiwa menjadi salah satu kekhawatiran juga, karena manusia belum terbiasa dengan hal baru ini.
Pernah suatu malam, hari Senin Malam, ada seorang datang ke pastoran hendak meminta pekerjaan dan tempat tinggal. Orang itu mengaku berasal dari Papua dan memang tidak memiliki siapa-siapa dan apa-apa di Jogja ini. Aku tidak bisa serta merta menerima begitu saja karena terkait dengan situasi saat ini. Meski sebenarnya aku merasa kasihan, namun aku tidak bisa berbuat banyak karena memang harus mempertimbangkan banyak hal. Akhirnya aku menelepon Pak Martana, ketua wilayah II untuk meminta bantuan dicarikan penginapan. Namun memang tidak mudah, akhirnya datang bapak-bapak yang berusaha untuk membantu orang itu, meski aku tidak yakin juga apakah bantuan itu tepat untuk orang itu atau tidak. Semoga akhirnya sungguh-sungguh bisa terbantu. Akhirnya orang itu dibawa ke kecamatan untuk diproses dipulangkan ke tempat asal dengan bantuan dari Dinas Sosial. Dalam situasi seperti ini, kemanusiaan seolah ditantang untuk bisa dengan jernih melakukan tindakan yang bijaksana demi keselamatan banyak orang, siapapun itu.
Ketika virus ketakutan dan kecemasan mulai menjangkiti jiwa, maka kemanusiaan pun terancam tidak hanya secara fisik, namun juga secara rohani. Ketika semua masuk ke dalam rumah masing-masing, kita diajak untuk tetap peduli pada sesama, meskipun tidak bisa ketemu secara fisik. Ketika ancaman-ancaman itu nyata, kita tetap diajak untuk berpengharapan dengan melakukan sesuatu yang membuat badan serta jiwa kita sehat, tidak hanya sehat secara diri sendiri, tetapi sehat bersama-sama. Meski pola-pola baru muncul sebagai bagian dari disiplin diri, kita tetap perlu rendah hati dalam menyikapi perubahan itu. Kesehatan kita, tetaplah menjadi bagian yang membantu sesama, minimal dengan tidak membuat mereka tertular secara fisik maupun rohani.
Hari Rabu pagi, sekitar pukul 10.00 datang bantuan beras sekitar 500kg dari temannya Pak Heru. Ada orang-orang baik di sekitar kita yang ternyata masih mau berbagi. Mereka berbagi bukan dari kelebihan, namun dari kekurangan juga, yang artinya mereka diajak untuk bersolidaritas dengan sesamanya. Bantuan itu kami kumpulkan untuk dijadikan lumbung paroki. Masih ada juga beras dan uang yang dikumpulkan di masing-masing lingkungan yang hampir mencapai 400 an kg. Itu semua akan kembali ke umat, untuk menjaga ketahanan pangan di antara keluarga di dalam lingkungan masing-masing. Solidaritas perlu dikembangkan, terutama dalam menghadapi situasi seperti sekarang ini. Lalu aku ingat akan beberapa lingkungan yang belum bergerak, atau mungkin sudah bergerak namun belum melaporkan. Semoga kita semua tetap sehat jasmani rohani dalam menghadapi situasi seperti ini. Sehat jasmani dan rohani tidak hanya untuk diri sendiri tetapi dilaksanakan secara bersama-sama meski tetap di rumah masing-masing.
Syukur kepada para petani dan pejuang kehidupan, para dokter, perawat, pejuang kemanusiaan yang tak kenal lelah untuk terus menyalakan api pengharapan akan hidup ini. Marilah kita saling menyalakan api pengharapan, meski sangat sederhana sekalipun. Sebab hanya itu yang bisa kita buat selama belum ditemukan obat atau vaksin untuk Covid 19 ini. Jangan sampai saudara-sudara dan orang-orang di sekitar kita menderita, baik secara raga maupun jiwa. Marilah kita saling menjaga, baik menjaga raga maupun jiwa. Sebab itulah sejatinya panggilan iman kita, bahkan ketika virus ini berlalu, kita tetap perlu untuk saling menjaga, saling bergandeng tangan, saling menyelamatkan. Tidak ada orang yang akan selamat secara sendiri. Ia akan selamat, jika sesamanya juga selamat.