Catatan Harian Pastoran, Minggu, 22 Maret 2020

/ March 23, 2020

Setelah beberapa saat aku tidak menulis catatan harian, aku mencoba menulis hari ini. Aku sebenarnya sudah lama tidak menulis catatan harian, dan rasanya itu membuatku seakan tumpul dalam merenungkan perjalanan kisah hidup ini. Aku mencoba untuk menulis kembali meski aku tak mengerti, harus dimulai dari mana.

Di awal dan pertengahan bulan Maret 2020 ini, bangsa Indonesia sedang dicekam oleh kekhawatiran tentang wabah virus Covid 19 (Corona Virus Disease 2019) yang mulai masuk ke Indonesia. Dari sejak awal diumumkannya ada pasien positif corona di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, dari hari ke hari jumlah orang yang dalam pengawasan, pasien dalam pengawasan dan pasien positif covid 19 mulai menanjak. Selain itu, ada korban jiwa yang disebabkan oleh virus itu. Hingga tanggal ke-23, kabar yang kuterima sudah ada 38 orang meninggal karena infeksi virus Covid 19. Dengan adanya penambahan jumlah orang yang terjangkit, Gereja pun turut merasakan dampaknya. Pada tanggal 19 Maret 2020, bertepatan dengan Hari Raya Santo Yusuf, Bapak Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko memberikan kebijakan bahwa segala kegiatan kegerejaan baik di tingkat lingkungan, wilayah, stasi, paroki, kevikepan dan keuskupan yang melibatkan kerumunan banyak orang sementara ini ditiadakan. Misa dilakukan tanpa dihadiri umat dan umat terlibat melalui jaringan internet (online). Situasi ini tentu sangat mencekam dan baru terjadi kali ini sepanjang sejarah Gereja Keuskupan Agung Semarang.

Paroki-paroki pun segera bertindak untuk memberikan perlindungan kepada umatnya terkait dengan menyebarnya wabah ini. Paroki Medari juga mengeluarkan himbauan untuk mengikuti Surat Gembala Bapak Uskup tentang tinggal di rumah saja dan tetap menjaga kebersihan serta kesehatan. Dua kali surat edaran telah dibuat oleh paroki untuk menyikapi situasi tersebut. Dan terjadilah, sejak tanggal 20 Maret 2020 hingga 3 April 2020, sesuai anjuran Bapak Uskup, Gereja tutup dan tidak ada umat yang berkumpul di gereja. Mereka semua menjalankan perintah itu dengan tetap tinggal di rumah masing-masing. Baru kali ini gereja tidak mengadakan misa di hari minggu, dan juga membatalkan kegiatan pengakuan dosa keliling bersama dengan romo romo Slemania. Paroki Medari yang mendapat jatah pengakuan dosa pada tanggal 24 Maret pun akhirnya membatalkan kegiatan itu.

Sejak tanggal 19 Maret 2020 itu, suasana menjadi kian mencekam meski umat tetap beraktivitas seperti biasa namun di rumah. Tapi gereja tetap sepi. Aku mencoba untuk tetap berkoordinasi dengan dewan harian paroki, ketua-ketua lingkungan maupun ketua wilayah. Aku juga tetap berkontak lewat WA dengan para romo, dengan keluarga dan dengan teman-teman. Sedih rasanya tidak bisa kemana-mana, karena meskipun sehat, aku takut menjadi pembawa wabah ketika berkunjung ke mana mana. Pada tanggal 22  Maret 2020 aku memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Bapak Kepala Dukuh, Bapak Pendeta GKJ Medari yang rumahnya dekat dengan Gereja. Itu aku lakukan untuk sekedar silaturahmi dan juga koordinasi tingkat lanjut dalam menanggapi situasi wabah ini. Semuanya perlu dipersiapkan untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Setiap hari aku dibuatkan jamu oleh Rm Deny yang begitu perhatian dengan seluruh anggota keluarga Pastoran. Harapannya, wabah ini segera berlalu dan Indonesia pulih seperti sediakala.

Aku merasa sedih karena baru sekarang aku menulis lagi. Sebenarnya kegiatan menulis ini sudah sering aku lakukan dahulu saat masih di Kalimantan. Namun lambat laun, karena beratnya tugas dan tanggungjawab sebagai romo paroki, kegiatan menulis ini sering aku lewatkan. Aku kurang memiliki ketekunan dalam melakukan hal itu, padahal dalam job description sebagai romo paroki,  salah satu tugas adalah menulis historia domus, dan itu tidak aku lakukan selama tahun 2019 yang lalu. Sedih rasanya. Banyak hal yang sudah terjadi tidak sempat terdokumentasikan dan terrekam dengan baik. Meski sebenarnya melalui foto juga masih bisa ditemukan jejaknya. Aku Cuma berharap, tulisan ini paling tidak menjadi hal yang bisa digunakan untuk mencatat peristiwa mewabahnya Covid 19 di sekitar paroki Medari. Harapannya tentu, tidak ada seorang pun umat yang terjangkit dan akhirnya virus ini berlalu dari bumi Indonesia.

Saat-saat ini, masyarakat Indonesia sedang mengalami prihatin, sebab situasi ini tidak hanya dialami oleh satu dua orang, tetapi menyangkut seluruh bangsa. Bahkan ketika pada tanggal 19 Maret 2020 lalu berlangsung tahbisan Uskup Ruteng di NTT, banyak netizen yang membully kegiatan tersebut, termasuk dari umat Katolik sendiri. Ada semacam kegamangan umat terhadap para pemimpinnya. Situasi ini tentu menambah mencekam hari-hari yang telah terjadi. Vatikan sepi, Bapa Paus mulai mengajak berdoa dan berpuasa, seolah Gereja tengah dilanda goncangan karena ancaman kemanusiaan dengan merebaknya Covid 19. Meski tetap optimis, namun ada saja umat yang juga merasakan kepanikan, terlebih ketika gereja mengalami perubahan dalam liturgi, ada banyak pertanyaan yang mulai mengemuka. Namun tetap saja yang paling penting, bagaimana menghindarkan umat dari ancaman wabah ini. Tentu tidak hanya orang Katolik, semua agama dan kebudayaan pun seakan terguncang dengan menyebarnya virus ini. Ada banyak perubahan yang mesti dibuat untuk sekedar survive dari situasi ini, karena memang virus ini adalah jenis baru dan belum ditemukan obat serta vaksinnya. Dan setiap hari pun lebih banyak di depan hape atau komputer untuk terus memantau informasi terkait dengan mewabahnya virus Covid 19 di Indonesia.

Karantina baru berjalan 3 hari sejak diumumkan oleh Bapak Uskup tentang tiadanya kegiatan kegerejaan yang melibatkan banyak orang. Misa secara online pun baru dijalankan beberapa hari serta hari Minggu, 22 Maret 2020. Namun tampak juga tanggapan umat melalui medsos bahwa situasi ini justru membuat mereka bisa berkumpul bersama dengan keluarga. Misa dihadapan televisi dan radio, sambil bersatu di dalam keluarga untuk terus berdoa bagi kesembuhan bangsa dan terbebasnya bangsa dari virus Covid 19. Tetap ada berkat di balik sebuah musibah. Harapannya, berkat yang diterima bisa menjadi bekal untuk tetap berjuang mengalahkan segala macam ancaman serta bahaya akibat mewabahnya virus Corona ini.

Hari ini, aku merayakan Misa Minggu Prapaskah IV tanpa ada nyanyian. Sangat singkat dan ringkas. Baru kali ini aku merasakan bahwa sebenarnya liturgi dibuat untuk keselamatan, namun liturgi tidak melulu harus sesuai dengan aturan demi keselamatan. Liturgi tetap bisa dirayakan ditengah keprihatinan, dan tujuannya sama yakni untuk keselamatan. Liturgi bukanlah soal aturan, tetapi bagaimana menjaga semangat, menjaga iman, menjaga hati, untuk tetap peduli dengan keselamatan sesama dan diri sendiri. Semoga, dengan adanya banyak perubahan ini, aku juga bisa berubah, untuk tetap lebih peduli, pada kesehatan diri sendiri dan sesama, peduli pada keselamatan sesama sebagai bagian dari tanggungjawab atas hidup ini.

Share this Post